sakitnya menjadi
semakin tak tertahan lagi
aku iris dada ini
aku belah dada ini
aku ambil hati yang sakit ini
ternyata sudah meradang oleh sejuta tanya
yang tak satu pun pernah beroleh jawab
aku bawa hati yang sakit ini
ke tempat yang mereka sebut rumah rakyat
aku letakkan hati yang meradang ini
diatas meja mereka yang menyebut diri wakil rakyat
wakil kita
“hati ini sakit karena letih terus meradang tanya,
tolonglah bantu mendapatkan jawaban pasti”
sebagian lalu mengiris dan membelah dada
ikut mengambil hati mereka
menunjukkan sambil berpadu suara
“kami pun mencari jawaban,
kami tak punya kuasa atas semua,
kami punya keterbatasan,
kami bukan sang penguasa,
kami bukan sang nomor satu”
sebagian lain mencibir mulutnya
sebagian sembunyi di bawah kursinya
aku bawa hati yang sakit ini lagi
kepada yang mereka sebut sang nomor satu
aku letakkan hati yang semakin meradang ini
diatas lantai di depan singgasananya
sang nomor satu tercenung
sebelum aku sempat berujar dia berkata
“taruhlah hatimu pada dinding istana,
biar kami semua penghuni istana ini,
lantas teringat dan bisa menulis jawabnya”
aku bawa hati yang sakit ini sekali lagi
menuju dinding yang mengelilingi istana
semakin dekat aku semakin bergidik
dinding istana republik ini
yang terlihat kokoh dari kejauhan
ternyata tersusun dari tumpukan hati
ribuan mungkin jutaan jumlahnya
tumpukan hati manusia yang sakit
karena tertindas
karena teraniaya
karena tersingkirkan
karena tergusur
karena terdiskriminasi
yang bertanya tanpa pernah beroleh jawab
hingga terbiar terlupa ditelan waktu
sampai akhirnya membusuk dan mati
*)
terinspirasi puisi ‘BERHATI TAK BERPERASAAN’ karya Remy Silado
didedikasikan untuk korban penghilangan paksa 13 aktivis pada masa 1997-1998
“Kita pahlawan di saat kita jadi yang seharusnya
melawan kekuasaan yang berubah jadi kekerasan”
(Remy Silado – BERHATI TAK BERPERASAAN)
Wednesday, March 07, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment